1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan penulisan hadis pada masa tabi’in dan tabi’it. Uraikan!
Jawaban :
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakuakn oleh para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda denga yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, para sahabat ahli hadist telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasan islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadist dari mereka.
Tercatat bebrapa kota yang menjadi pusat perkembangan dalam periwayatan hadist sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadist, yaitu Madinah Al-Munawarah, Mekah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan.
Pada saat itu terjadi pergolakan politik yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi perkembangan hadist. Pengaruh yang llangsung dan bersifat negatif adalah munculnya hadist-hadist palsu untuk mendukung kepentingan politiknya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
Pada masa setelah Rasulullah SAW wafat, komunitas muslim yang belum lama lahir itu merasa sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detil fenomena akan sejarah nabi tersebut. Tentunya tugas yang sangat penting ini, terpenuhi atau tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam mengatur informasi tersebut. Sebuah fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran itu adalah proses transmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap pembukuannya. Alquran telah diperiksa dan disatukan oleh nabi sendiri, dan Hafsah (isteri beliau) kemudian menyerahkan kepada Abu Bakar, dan seterusnya. ini bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan dengan hati-hatinya.
Wacana yang sama terlihat juga dalam metodologi penulisan hadits. Sejarah penulisan hadits dan pembukuan hadits serta ilmu hadits telah melewati serangkaian proses sejarah yang sangat panjang; semenjak Nabi SAW., sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ke tiga hijriyah. Berbagai macam permasalahan yang muncul tentang hadits setelah masa kenabian di antaranya ialah pemalsuan hadits yang dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang dapat meretakkan kesatuan umat islam.
Dalam kesempatan kali ini, akan dicoba dan mengupas perihal munculnya Pemalsuan hadits, dan para tokoh hadits generasi tabi’in, serta beberapa pengaruh negatif dan pengaruh positif yang terjadi ketika munculnya pemalsuan hadits. Juga akan dipaparkan beberapa sebab dan latar belakang terjadinya pemalsuan hadits itu sendiri.
PEMBAHASAN
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkankhulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya.
I.
MUNCUL PEMALSUAN HADITS
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut
dengan terpecahnya umat islam ke dalam beberapa kelompok yaitu;pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah,ke tiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran
dan menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongannya.
c.Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua
sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama
mereka palsukan adalah hadits yang mengenai orang-orang yang mereka
agung-agungkan.1
Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan
jamaah memalsukan hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.2
Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”, sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.
Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis- hadis palsu.
1 Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, (Surabaya: Alpha, 2005), 31.
2 Ibid., 32.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
1.Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya
hadis-hadis palsu (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.3
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
II.
KODIFIKASI HADIS
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah- daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadis tentunya berbeda dengan penulisan hadis kitabah al-hadis. Tadwin al-hadis mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan,
3Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 88.
2. Apa pengertian hadis di tinjau dari segi parowi hadis, meliputi hadis maqbul, mardut, shohih, hasan dan dhoift ?
Jawaban :
· Hadis Maqbul, Menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan, Sedangkan menurut urf, Muhaditsin Hadits Maqwbul ialah hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.
· Hadis mardut, menrut bahasa berarti yang di tolak, yang tidak di terima, sedangkan menurut urf Muhaddasin, hadits mardud ialah hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menujuki keterangan yang kuat atas ketidak adaannya, tetapi adanya dan ketidak adaannya bersamaan
· Hadits Shohih,menurut bahasa berarti hadits yang bersih dari cacat, hadits shohih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat Al- Qur’an , hadits mutawatir , atau ijmak serta para perowinya adil dan dobit
· Hadits hasan, menurut imam Turmudzi adalah hadits yang sanadnya baik yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang di curigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula sederajat.
· Hadits Dhoif, menurut bahasa berarti hadits lemah, sedangkan menurut para ulama’ adalah hadits yang tidak menghimpun sifat – sifat hadits Shahih, dan juga tidak menghimpu sifat – sifat hadits hasan
3. Hadis dhoif tidak boleh untuk menetapkan hukum syari’ tetapi hanya untuk apa, uraiakan!
Hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yang mendukungnya. Karena di sini hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih yang mendukung hal ini. Misalnya ada hadits dho’if mengenai amalan pada malam nishfu sya’ban. Kalau landasannya dari hadits dho’if tanpa pendukung dari hadits shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal. Dhoif banyak pembagiannya, Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
4. Ternyata dapat dibedakan pengertiannya antara hadis, sunnah, khabar, khobar, dan atsar uraikan pengertiannya masing-masing!
· Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
· Sunnah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi'il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri (pensyariatan) bagi ummat Islam.
· Khabar, menurut bahasa adalah Warta / berita yang disampaikan kepada orang lain, sedangkan menurut ahli hadits khabar adalah : Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW, atau dari yang selain Nabi SAW
· Khobar
· Atsar menurut bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu, sedangkan atsar menurut para ulama’ atsar lebih umum daripada khabar, yaitu atsar berlaku bagi segala sesuatu dari Nabi SAW, maupun dari selain Nabi SAW sedangkan khabar khusus bagi segala sesuatu dari Nabi SAW saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar